Dalang Adalah Orang
Kata dalang termasuk kata apa?
Kata dalang adalah Kata Nomina (kata benda).
Apa contoh kalimat menggunakan kata dalang?
Contoh kata dalang adalah: dalang wayang kulit dalang wayang golek.
Kata-kata di KBBI yang dekat dari dalang
Tip: doubleclick kata di atas untuk mencari cepat
[dalang] Arti dalang di KBBI adalah: orang yang memainkan wayang. Contoh: dalang wayang kulit dalang wayang.... Lihat arti dan definisi di jagokata.
Database utama KBBI merupakan Hak Cipta Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemdikbud (Pusat Bahasa)
Bagi orang yang mengerti tentang kesenian pewayangan, pasti dengan mudah bisa membedakan antara wayang kulit dan wayang orang. Disebut wayang kulit oleh karena wayang yang dimainkan dibuat dari kulit. Begitu pula wayang orang, para pemainnya adalah orang yang dilatih untuk memainkan peran-peran tertentu.
Bagi seorang dalang tentu lebih mudah memainkan wayang kulit dibanding dengan wayang orang. Memainkan wayang kulit lebih mudah oleh karena wayangnya terbuat dari kulit yang merupakan benda mati. Dalangnya bisa memainkan berbagai jenis wayang sesukanya, asalkan masih sesuai dengan karakter wayang dimaksud. Wayang kulit sangat tergantung pada dalangnya. Suatu saat wayang tertentu dikeluarkan dari kotak tempat penyimpannya, atau sebaliknya, dimasukkan lagi tergantung kemauan dalangnya.
Otoritas dalang wayang orang sebenarnya sama dengan yang dimiliki oleh dalang wayang kulit. Perannya sebagai dalang, ia juga bisa memainkan berbagai jenis wayang semaunya. Akan tetapi, oleh karena dalang wayang orang memainkan benda hidup, apalagi berupa orang, maka akan lebih sulit. Kapan dan di mana saja, orang tidak selalu mudah diatur. Tatkala harus memainkan orang itulah, otoritas dalang tidak sepenuhnya bebas.
Sebagai wayang, ---------dalam pertunjukkan wayang orang, pemainnya harus sepenuhnya mengikuti arahan dalang. Apapun yang diperintahan oleh dalang, maka pemainnya harus patuh. Akan tetapi, sekalipun menjadi pihak yang dimainkan, orang tetap memiliki kemauan dan kamampuan yang berbeda, termasuk dengan dalangnya. Apa yang dimaui dan dilakukan oleh seseorang tatkala berperan sebagai wayang tidak selalu sama dengan yang diarahkan oleh dalangnya. Mereka bisa saja melakukan kenakalan, misalnya, bermain sesuai dengan kemauannya sendiri.
Membayangkan permainan wayang orang, mengingatkan pada peran seorang pemimpin. Memimpin orang banyak sebenarnya mirip dengan bekerja sebagai dalang wayang orang. Dalang wayang orang atau pemimpin, harus mengatur banyak orang dengan berbagai karakternya. Tentu tugas itu tidak mudah. Menggerakkan dan mengarahkan orang pasti memerlukan seni. Artinya, oleh karakter manusia selalu berbeda-beda, maka cara memimpinnya juga harus menggunakan pendekatan yang berbeda-beda pula.
Sebagai contoh, betapa tidak mudahnya menjadi dalang wayang orang, di antaranya tatkala berharap agar seseorang melakukan peran sebagai janoko, ternyata yang dimainkan adalah peran sebagai petruk. Mestinya menjadi semar, ternyata ia lebih kelihatan sebagai sengkuni. Begitu pula, seseorang yang sosok tubuhnya lebih tepat menjadi petruk, ternyata menghendaki peran sebagai Puntodewo. Maka artinya, dalang wayang orang menjadi lebih sulit dibanding dengan dalang wayang kulit.
Begitu pula seorang pemimpin. Memberikan peran-peran kepada berbagai orang yang berbeda-beda, ternyata belum tentu berhasil dimainkan secara tepat. Seorang yang seharusnya melakukan peran sebagai pengawas, ternyata yang bersangkutan sendiri perlu diawasi. Seorang yang seharusnya mengamankan uang, ternyata malah justru menjadikan uangnya hilang semua, seorang yang seharusnya melakukan peran sebagai algojo, malah dia sendiri yang harus dihukum, dan seterusnya.
Beban pemimpin menjadi sangat jelas, yaitu mirip dengan dalang wayang orang. Apa yang dimaui belum tentu berjalan sebagaimana yang dikehendaki. Itulah resiko sebagai dalang wayang orang atau pemimpin manusia pada umumnya. Apa yang diperintahkan belum tentu dikerjakan, dan sangat mungkin justru dirusak, hingga apa yang diinginkan menjadi berantakan semua. Bahkan, beban pemimpin itu menjadi semakin berat tatkala perilaku orang sudah semakin sulit diatur seperti sekarang ini. Wallahu a'lam.
Salah satu tugas negara adalah memelihara kesejahteraan rakyat dengan membangun sistem yang men-generate keadilan sosial dan menjauhkan rakyat dari kemiskinan. Jika negara lalai membangun sistem yang mensejahterakan seluruh rakyat, niscaya segala program bantuan buat rakyat miskin hanya akan menempatkan negara sebagai pusat kedermawanan.
Fondasi regulasi (legal fondation) dalam bentuk undang-undang, seperti Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional, Undang-Undang Penanganan Fakir Miskin, Undang-Undang Pengelolaan Zakat, Undang-Undang Wakaf, dan lainnya tidak terlepas dari tujuan untuk merealisasikan tugas negara dalam mengelola masalah kesejahteraan yang begitu kompleks.
Kemiskinan dapat digambarkan sebagai bentuk ketidak-adilan sosial dan anomali dari tujuan pembangunan masyarakat madani. Tokoh pejuang pers nasional almarhum Mochtar Lubis menyampaikan kritik sosial yang layak direnungkan;
“Bila Anda tetap saja tidak mendapat penghasilan yang cukup untuk bisa hidup layak sebagai manusia, betapapun kerasnya Anda bekerja dan ingin bekerja, itu adalah ketidakadilan sosial. Bila anak-anak Anda tak dapat bersekolah, atau anak-anak itu tak dapat disekolahkan karena alasan keuangan, itu ketidakadilan sosial. Bila Anda harus tinggal di daerah kumuh yang tidak memenuhi syarat sebagai pemukiman manusia, itu adalah ketidakadilan sosial. Bila Anda sakit dan tidak punya dana untuk membayar dokter, obat dan rekening rumah sakit, itu ketidakadilan sosial. Bila hanya segelintir kaum elite menikmati semua kekuasaan dan semua kemakmuran dan semua kesejahteraan hidup, itu juga ketidakadilan. Bila seorang anak lapar menangis di kegelapan malam, itu adalah tangisan menuntut keadilan. ” (Mochtar Lubis Wartawan Jihad, penyunting Atmakusumah, 1992)
Bangsa Indonesia memiliki kearifan lokal seperti tercermin pada budaya gotong-royong dan tolong menolong yang pada dasarnya dapat menjadi katup pengaman terhadap bahaya kemiskinan. Sebagai contoh, kearifan lokal di Minangkabau mengajarkan, “Barek samo dipikua, ringan samo dijinjiang (berat sama dipikul ringan sama dijinjing) dan “Kaba baiak bahimbauan, kaba buruak bahambauan” (kabar baik berhimbauan, kabar buruk berhamburan). Saya kira hampir semua suku dan etnik di Nusantara memiliki kearifan lokal yang secara eksplisit dan implisit menegaskan keberpihakan terhadap orang-orang yang dalam kesusahan sebagai bentuk tanggung jawab kemanusiaan.
Dalam kenyataan, kenapa orang miskin mengalami kelaparan, anak-anak menderita gizi buruk, anak keluarga miskin bunuh diri karena orang tuanya tidak mampu bayar uang sekolah, seperti terjadi di Jakarta dan di tempat lainnya. Di manakah negara dan kearifan lokal?
Wilayah administrasi negara dibagi habis sampai ke pemerintah desa/kelurahan atau nama lain. Setiap desa/kelurahan atau yang setingkat terbagi menjadi jorong, kampung, atau di perkotaan Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW). Oleh sebab itu tanggungjawab untuk memelihara dan melindungi kesejahteraan rakyat harus berjalan di semua lingkup kewenangan pemerintahan. Motto perjuangan almarhum Said Tuhuleley, tokoh pemberdayaan masyarakat PP Muhammadiyah patut menjadi renungan kita semua dalam upaya memberdayakan masyarakat kecil di manapun, almarhum menyatakan: “Selama rakyat menderita, tidak ada kata istirahat.”
Semua unsur dalam pemerintahan sampai strata paling bawah harus memiliki kepekaan dalam melihat persoalan kemiskinan. Gamawan Fauzi sewaktu menjabat Menteri Dalam Negeri mengingatkan para pejabat di daerah, jangan mengutamakan anggaran untuk kepentingan mereka sendiri, seperti untuk pembangunan rumah pejabat yang mewah, pengadaan mobil mahal, kantor megah dan lainnya yang tidak pantas. Prioritas anggaran harus untuk masyarakat. Sejalan dengan imbauan, pejabat di pusat tentu juga harus menjadi contoh yang baik.
Dalam kaitan ini peran fasilitatif dan mediatif aparatur pemerintah harus dioptimalkan untuk mempercepatan langkah mengatasi kemiskinan. Manajemen pembangunan, konsistensi kebijakan dan keteladanan merupakan aspek penting yang perlu diperhatikan. Manajemen pemerintahan harus digerakkan oleh kepemimpinan yang transformatif dan mentalitas aparatur yang bisa membuat rakyat percaya kepada sistem, bukan menunggu keajaiban dalam siklus lima tahun.
Peran kepemimpinan formal di pemerintahan dan peran masyarakat merupakan dua elemen pokok dalam penanggulangan kemiskinan. Semenjak empat dasawarsa lalu di ibukota negara dan di semua daerah sudah ada lembaga pengelola zakat yang menjalankan tugas dan fungsinya membantu orang-orang miskin, yaitu BAZNAS (dahulu BAZIS) dan lembaga-lembaga amil zakat (LAZ) yang diprakarsai masyarakat.
Pembentukan lembaga pengelola zakat adalah bagian integral dari sistem kesejahteraan yang difasilitasi oleh negara. Lembaga pengelola zakat didirikan untuk memberikan pelayanan kepada kaum miskin dan menyelesaikan masalah semua orang. Untuk itu BAZNAS dan LAZ harus “familiar” dengan kenyataan hidup orang miskin. Visi lembaga zakat untuk mengubah mustahik menjadi muzaki sungguh tidak mudah, tetapi minimal bisa membuat mustahik menjadi mandiri sehingga terbebas dari fakir dan miskin. Karena itu, lembaga zakat harus benar-benar menerapkan manajemen Islami agar berkah.
Di sekitar isu kemiskinan sebagai persoalan serius bangsa, masih ingatkah pembaca tahun 2013 lalu seorang bocah putus sekolah bernama Tasripin (12 th) yang menjadi buruh tani untuk menghidupi ketiga adiknya tiba-tiba menjadi berita nasional? Simpati dan bantuan spontan pada waktu itu berdatangan bahkan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang mengetahui kasus tasripin melalui twitter. Tasripin setiap hari bekerja di sawah agar adik-adiknya bisa makan. Satinah, ibu mereka, meninggal dunia dua tahun silam di usia 37 tahun akibat terkena longsoran batu saat menambang pasir di dekat rumahnya. Kuswito, ayahnya, mencari nafkah di luar kota. Tasripin dan adik-adiknya hidup sebatang kara dan hanya berteman tetangga yang kerap memberi mereka makanan. Hal yang mengesankan, sore hari ia masih sempat mengajar adik-adiknya membaca Al Quran dan mengajak shalat di mushalla depan rumahnya. Tasripin memperoleh hadiah uang dari Presiden, Menteri Agama, dan mendapat simpati luar biasa dari pejabat pusat dan daerah. Rumah tempat tinggal Tasripin di Banyumas, Jawa Tengah direnovasi oleh Kodim dan Korem yang bertindak cepat memberi bantuan. Cerita dan kisah Tasripin telah berlalu dan mungkin telah terlupakan karena tertutup oleh isu-isu baru.
Tasripin hanyalah potret “gunung es” kemiskinan absolut dan kepincangan sosial di negara kita yang berdasarkan Pancasila. Di pelosok tanah air masih banyak anak-anak keluarga miskin yang bernasib sama atau mungkin lebih pahit hidupnya daripada Tasripin yang beruntung karena diekspos oleh media.
Para pemimpin dan elite di pusat dan di daerah-daerah tidak seharusnya mengalami “rabun dekat” dengan realita kemiskinan, atau menutup-nutupi fakta tentang kemiskinan di daerahnya. Kemiskinan dan kepincangan sosial harus diatasi dengan pendekatan regulatif dan kebijakan, bukan dengan pendekatan yang bersifat karikatif. Pemimpin yang bijaksana tentu tidak mau menjadikan rakyatnya bermental pengemis. Pemimpin yang bijaksana tentu menyadari bahwa negara wajib membangun sistem yang menghasilkan pemerataan kesejahteraan, menjamin keamanan serta menegakkan hukum dan keadilan. Di sinilah perbedaan antara tindakan negara dan tindakan masyarakat dalam mengatasi masalah kemiskinan.
Wallahu a’lam bisshawab.
Bogor (SI Online) – Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Didin Hafidhuddin menjelaskan bahwa sunnatullah (ketetapan Allah) akan berlaku terhadap siapapun, baik orang baik maupun yang jahat.
Bagi orang yang jahat atau zalim di dunia, sunnatullahnya orang tersebut pada akhirnya akan mendapatkan azab.
“Meski (orang zalim) mempunyai kekuasaan yang luar biasa, berbagai kekuatan ada dalam kekuasaannya seolah-olah mereka tidak akan kalah dalam hidupnya. Akan tetapi sunnatullah mengungkapkan, ketika mereka sedang dalam puncak kezaliman dan kesombongannya maka terdapat siksa yang mungkin kita tidak melihatnya. Mungkin secara pribadi, ia merasa ada penderitaan batin yang tidak tampak,” ungkap Kiai Didin dikutip Suara Islam Online, Kamis (9/9/2021) melalui kajian online di Kalam TV.
Kata Kiai Didin, sudah sunnatullah bahwa akan datang azab Allah kepada orang zalim akibat apa yang mereka lakukan.
“Mereka akan merasakan azab di dunia, apalagi di akhir kehidupannya terlebih di akhirat nanti,” ujarnya.
Jadi, kata Kiai Didin, itulah sunnatullah yang berlaku bagi umat manusia sejak zaman dahulu terhadap orang-orang zalim. “Dan tidak akan ada perubahan sunnatullah itu (tetap akan berlaku),” jelasnya.
Sementara itu, bagi orang-orang beriman yang beramal saleh akan mendapatkan ketenangan dan balasan yang baik walaupun menghadapi berbagai macam ujian dalam kehidupannya.
“Sebaliknya orang-orang zalim, durhaka dan bermaksiat kepada Allah, betapapun mereka memiliki kekuasaan, dia akan mendapatkan azab dari Allah dan kehidupannya tidak akan tenang,” tandas Kiai Didin.
Contoh:~ gerakan pemberontakan itu telah tertangkap;
Dalam kosmologi manusia Jawa, dalang menjadi rujukan tentang tata nilai dan pengatur ritme yang mampu memberikan visi dalam kisah-kisah kehidupan. Dalang, dalam artian harfiah, merupakan seorang yang mengomando pementasan wayang. Sebagai orang yang memainkan lakon demi lakon, pada hakikatnya dalang mementaskan nilai-nilai kehidupan pada setiap kisahnya.
Bagaimana memaknai dalang dalam konteks masyarakat Indonesia saat ini? Di tengah pertarungan politik yang kian panas, kita perlu menganalisis tentang bagaimana posisi dalang dan strategi lakon wayangnya. Dalang, dalam ranah kesenian, memang menjadi rujukan pementasan wayang, tapi dalam ranah politik, ia bisa bermetamorfosis menjadi sutradara dalam panggung kekuasaan. Dalang politik tidak sekadar mencari lakon yang sesuai dengan wayangnya, namun juga mampu mengatur ritme, menjadi makelar, hingga menyusun alur logika bagi wayang-wayangnya di panggung kuasa.
Untuk itu, perlu ada kecermatan analisis, siapa dalang, siapa wayang. Di panggung politik saat ini, perlu menakar kapasitas orang-orang yang berkompetisi: apakah dia sesungguhnya dalang, atau hanyalah wayang yang seolah-olah menampakkan diri sebagai dalang. Inilah lakon di panggung politik kita saat ini.
Dalam filosofi Jawa, dalang sebenarnya berakar dari makna mulia. Dalang dimaknai dalam akar kata wedha dan wulang. Wedha merupakan kitab suci agama yang memuat ajaran tentang moral, peraturan hidup, dan spiritualitas menuju Tuhan. Sedangkan wulang dapat diartikan sebagai mengajar serta menebar benih ilmu dan cinta dalam kehidupan. Pada arti yang lain, dalang juga dapat diartikan sebagai penyebar ilmu. Makna ini berakar kata angudal piwulang, yakni dalam proses menyebar ilmu bagi masyarakat.
Dalam Kakawin Arjunawiwaha, begawan Mpu Kanwa-pujangga pada masa pemerintahan Airlangga (1019-1042)-mengisahkan tentang pentingnya dalang dalam kosmologi hidup manusia (P.J. Zoetmoelder, 1983: 298). Ia mengungkap tentang bagaimana dalang menciptakan peran sentral dan konteks kemanusiaan. Dalang mampu menyihir rakyat dengan memberi visi pada kisah-kisah yang ditampilkan dengan media wayang.
Lalu, bagaimana transformasi makna dalang dalam dimensi bahasa saat ini? Dalam perkembangan peradaban bangsa, bahasa menjadi ruang untuk menampung dinamika pemikiran dan karakter sosial. Dalam konteks ini, perluasan makna dalang, dari penyebar ilmu menjadi aktor kunci di balik prahara maupun manuver politik, menjadi kekayaan berbahasa kita. Meski pada titik tertentu ada nuansa negatif yang muncul.
Pada kontestasi politik saat ini, kecermatan melihat aktor dan boneka, dalang dan wayang, lebih penting daripada sekadar terjebak pada isu maupun kampanye negatif. Mencermati dalang, bagaimana bentuk strategi, ideologi, dan akar kepentingan ekonomi-politik, akan mampu membuka tabir gelap tentang motif politik yang sebelumnya diselimuti kabut pencitraan maupun manipulasi informasi. Sedangkan mengikuti gerak langkah wayang hanya akan menangkap gerak bayang-bayang yang dipantulkan dari cahaya, dari alur strateginya. Inilah akar filosofi orang-orang Nusantara yang mampu menggerakkan manusia Indonesia agar lebih bersahaja.
Di panggung politik, kita perlu mencermati: apakah seseorang itu sejatinya dalang, ataukah wayang yang mengaku sebagai dalang?
Dalang Munawir Aziz ; Peneliti TEMPO.CO, 08 Mei 2014
Kata-kata dari kata dasar dalang
kesenian tradisi lisan rakyat Banyumas yang menampilkan cerita Ramayana, Mahabarata, terdiri atas empat atau lima pemain pria dan satu wanita yang berperan ganda sebagai pemusik mulut, penyanyi, pelaku, dan p
Dalang adalah sebutan untuk orang yang memainkan wayang, ada beberapa arti dari kata dalang itu sendiri diantaranya: 1. Dalang asal kata dari dalung/blencong (bahasa Jawa)/lampu = alat penerang. Dengan alasan demikian, maka fungsi dalang dalam masyarakat adalah sebagai juru penerangan, atau lebih tegasnya dalang adalah orang yang memberi penerangan dan bimbingan bagi masyarakat yang tingkatan sosialnya beraneka ragam. 2. Dalang berasal dari kata bahasa Jawa: Dhal adalah kependekan dari kata ngudhal = menggali; dan lang kependekan dari kata piwulang = piwuruk = petuah/nasihat. Dengan demikian dapat diartikan bahwa dalang adalah orang yang menggali nasihat/petuah untuk disampaikan/disebarkan kepada para penonton wayang. Di sini fungsi dalang adalah sebagai pendidik/pembimbing masyarakat atau guru masyarakat. 3. Dalang berasal dari kata da = veda = pengetahuan dan lang = wulang. Dalang adalah pengetahuan mengajar, di sini dalang dapat diartikan sebagai guru masyarakat. 4. Dalang berasal dari kata talang = alat penghubung untuk mengalirkan air. Dalam hal ini dalang bertugas sebagai penghubung/penyambung lidah, baik pesan dari pemerintah kepada masyarakat, maupun sebaliknya. 5. Dalang adalah pemimpin, penyusun naskah, produser, juru cerita dan memainkan wayang. Pendapat ini dikemukakan oleh Claere Holt (seorang sarjana Barat) dalam bukunya : Art In Indonesia Continintees, and Change, 1960. 6. Dalang adalah seniman pengembara, sebab apabila mengadakan pementasan tidak hanya di satu tempat, tetapi berpindah-pindah. Menurut Drs. Sudarsono, pendapat ini dikemukakan oleh Hazou (seorang sarjana Barat juga). 7. Dalang berasal dari kata dal = dalil-dalil, dan lang = langgeng. Ini adalah pendapat seorang dalang kasepuhan dari Kecamatan Ciledug Kabupaten Cirebon, yang bernama Dulah. Dengan demikian dapat diartikan bahwa dalang adalah seorang yang memberi dalil-dalil atau petuah-petuah/wejangan/wejangan selama hidupnya. Di sini fungsi dalang adalah sebagai pendidik/pembimbing masyarakat atau guru masyarakat. 8. Dalang adalah seorang aktor/aktris yang memainkan pagelaran wayangnya menurut ilmu dan tata cara yang telah ditentukan. Definisi ini dikemukakan oleh Juju Sain Martadinata, Alm. (eks Guru Kokar / SMKI Bandung). 9. Dalang berasal dari kata Dalilun lamnya ada dua yang satu lamnya dihilangkan dan ganti oleh tasjid menjadi dala. Menurut ahli sorop dala ya dulu dilalatan fa-hua daa-lun. Isimnya isim fa’il artinya petunjuk. Pendapat ini dikemukakan oleh Asep Sunandar Sunarya (dalang legendaris tanah Pasundan)
Dalang mangrupikeun istilah pikeun jalma anu maénkeun wayang, aya sababaraha hartos kecap dalang téa kalebet: 1. Dalang di tukangeun kecap tina dalung / blencong (jawa) / lampu = pencahyaan. Alesan ieu, fungsi dalang di masarakat mangrupikeun juru tarjamahan, atanapi langkung khusus, dalang nyaéta jalma anu nyayogikeun inpormasi sareng petunjuk pikeun jalma tina tingkat sosial anu béda-béda. 2. Dalang asalna tina kecap Jawa: Dhal pondok kanggo ngudhal = ngagali; sareng lang pondok kanggo kecap piwulang = piwuruk = pituah / pituah. Ku sabab kitu tiasa diinterpretasi yén dalang mangrupikeun jalma anu ngagali naséhat / naséhat anu bade dikirimkeun / disebarkeun ka pamiarsa wayang. Di dieu fungsi dalang mangrupikeun salaku pendidik / pituduh masarakat atanapi guru komunitas. 3. Dalang asalna tina kecap da = veda = pangaweruh sareng lang = wulang. Dalang mangrupikeun ngajarkeun pangaweruh, didieu dalang tiasa diinterpretasi salaku guru komunitas. 4. Dalang asli asalna tina kecap chamfer = cara nyambungkeun kana cai solokan. Dina hal ieu dalangna ngagaduhan pancén pikeun nyambungkeun / ngahubungkeun létah, boh pesen ti pamaréntah ka masarakat, sareng sabalikna. 5. dalang nyaéta pamimpin, tukang daptar, produser, carios sareng carita wayang. Pamadegan ieu dinyatakeun ku Claere Holt (sarjana Kulon) dina bukuna: Art In Indonesia Continintees, and Change, 1960. 6.Dalangna mangrupikeun seniman ngumbara, sabab nalika ngayakeun henteu ukur di hiji tempat, tapi obah-obah. Numutkeun ka Drs. Sudarsono, pamanggih ieu dikedalkeun ku Hazou (sarjana ogé Kulon). 7. dalang asalna tina kecap dal = postulat, sareng lang = awét. Ieu mangrupikeun pamanggih para dalang Kasepuhan ti Kecamatan Ciledug, Kabupaten Cirebon, nami Dulah. Ku sabab kitu tiasa diinterpretasi yén dalang nyaéta jalma anu masihan usul atanapi saran / saran / wacana salami hirupna. Di dieu fungsi dalang mangrupikeun salaku pendidik / pituduh masarakat atanapi guru komunitas. 8. dalang mangrupikeun aktor / aktris anu ngalaksanakeun pintonan wayangna dumasar kana élmu sareng prosedur anu ditangtukeun. Definisi ieu diteruskeun ku Juju Sain Martadinata, Alm. (tilas Guru Kokar / Sakola Luhur Bandung). 9. dalang téh asalna tina kecap Dalilun di mana aya dua anu hiji dileungitkeun sareng diganti ku masjid pikeun janten dala. Numutkeun ahli ahli sorop jaman baheula, éta biasa aya dina parabot fa-hua daa-lun. Isim isim nembil hartosna hint. Pamadegan ieu ditepikeun ku Asep Sunandar Sunarya (dalang legendaris tanah Pasundan)